Selasa, 26 Juli 2016

Hati yang yakin

|
HATI DI TIGA PERSIMPANGAN
------------------------------------------------


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Sesungguhnya Hati yang merupakan Raja ini, berada pada 3 persimpangan. seperti gambar dibawah ini :


Ruhul Qudus
/
/
Nafsu Muthmainnah
/
/
Syahwat ---- HATI
\
\
Hawa Nafsu

Hati berada dalam pengaruh Jasad (Syahwat), Hawa Nafsu, dan Nafsu Muthmainnah.

Seorang manusia, yang membiarkan hatinya berada dalam dominasi Syahwat dan Hawa Nafsunya, maka akan menjadi orang yang tersesat. Yang lambat laun bisa tergelincir menjadi orang yang dimurkai Allah.

"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran (QS. 45:23)"

Hawa Nafsu itu melingkupi segala aspek. Tidak diperbolehkan kita mengikuti hawa nafsu, dalam BERAGAMA sekalipun.

Banyak para aktivis dakwah, demikian bersemangatnya dalam berdakwah kadang kala terlena, tidak menyadari kalau dalam mengatur strategi dakwah, telah ditunggangi oleh Hawa Nafsunya.

Banyak pula para alim-ulama, yang demikian bangga terhadap ilmu yang dipelajarinya, sehingga merasa pendapatnya adalah pendapat yang paling benar, dan selainnya (selain golongannya) adalah pendapat yang salah.

Tidak disadari bahwa Hawa Nafsu telah merasuk dalam kemurnian beragamanya.

Dan kalaulah kita dapat keluar dari dominasi Hawa Nafsu dan Syahwat ini, maka Allah menjanjikan :



Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket



Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka : "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).
(QS. 4:66)

Apakah dalam ayat diatas, maksud bunuh diri adalah mengambil pisau lalu menghujamkannya ke perut? Atau mengambil racun lalu meminumnya?

Bukan !

Inilah kesalahan yang dapat terjadi bila kita tidak mengetahui arti yang sesungguhnya dari kata An-Nafs tersebut.

Dalam ayat ini dalam Arabnya dipergunkan kata Anfus (Jamak dari An-Nafs).
Bila Al Qur'an menggunakan An-Nafs dalam bentuk jamak, ini sesungguhnya merefer kepada Jiwa-jiwa yang banyak. Yaitu Hawa Nafsu. Karena bentuk Hawa Nafsu itu banyak. Seperti marah, sombong, ria, ujub, ingin dihormati, dsb.

Namun bila An-Nafs ini dalam bentuk tunggal, maka sesungguhnya ia merefer kepada Jiwa yang tunggal yaitu Nafsu Muthmainnah. Karena memang Nafsu Muthmainnah ini tunggal. Dan ini merupakan Hakikat diri manusia.

Jadi, bunuhlah dirimu dalam ayat ini, sesungguhnya mempunyai maksud : Keluar dari Dominasi Hawa Nafsu.

Keluar dari kampungmu dalam ayat ini, sesungguhnya mempunyai maksud : keluar dari kampung si Jiwa, yaitu Jasad. Atau keluar dari dominasi Syahwat.

Sehingga, bila seorang dapat keluar dari dominasi Hawa Nafsu dan Syahwatnya, sesungguhnya Allah akan menguatkan iman mereka.

Namun... Sangat sedikit sekali yang mau melaksanakan ini.

Hawa Nafsu dan Syahwat ini bukan dibunuh dan dihilangkan. Tetapi dikontrol oleh Nafsu Muthmainnah.

Ada saatnya hawa nafsu dan syahwat dikeluarkan, dan saat lain kembali dikekang.

"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. (QS. 79:40) maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. 79:41)"


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket





Kesalahpahaman pengartian An-Nafs juga berimplikasi kepada penafsiran yang kadang kala kurang tepat pada ayat-ayat seperti dibawah :

"... Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. ... (QS. 4:95)"

Banyak orang sering langsung mengarah kepada ayat-ayat sejenis diatas, berjihad dengan harta dan Jiwa (An-Nafs) adalah merupakan perang fisik.

Apakah memang demikian? Apakah Islam harus selalu perang sementara Islam adalah sebuah agama yang damai?

Memang betul, dalam kondisi yang mewajibkan kita berperang ayat ini merupakan perintah pula untuk berperang.

Namun dalam kondisi damai ada yang lebih berat dibandingkan dengan perang fisik, yaitu berjihad melawan syahwat dan hawa nafsu.

Setelah melakukan perang dan akan memasuki bulan Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat :

"Kita kembali dari jihad kecil kepada perjuangan besar".

(Hadits riwayat Al Baihaqy dan Jabir,).

Terlepas dari ke-dhoifan hadits diatas logikanya seperti ini : Seorang manusia yang telah dapat melepaskan hatinya dari takut kehilangan harta, keluarga, jabatan, dsb, hanya seorang yang telah mampu melawan syahwat dan hawa nafsunya.

Kalaulah kita temukan orang yang seperti ini, niscaya dia tidak takut lagi mati. Niscaya dia tidak akan pernah mengelak dari perintah untuk berperang, bila kondisinya mewajibkannya untuk berperang.

Tetapi orang yang hatinya masih takut kehilangan harta, pekerjaan, keluarga, jabatan, dsb. ia akan takut mati. Peperangan adalah sebuah hal yang sangat berat baginya.

Artinya, dalam logika sederhana tersebut, akan tergambar, kalaupun hadits tsb dhoif dari sanadnya, namun secara ilmiah hal itu dapat dibenarkan dan secara mathan, tidak ada ayat Al Qur'an yang bertentangan dengannya.

Dalam bahasan saya diatas, saya juga mencoba menunjukkan, bahwa tasawuf yang bagi sebagian orang diidentikkan sebagai pola pendekatan Islam yang mengabaikan perintah untuk berperang adalah kurang tepat.

Berperang adalah suatu kewajiban apabila kondisinya mewajibkan untuk melakukannya. Namun bila masa damai bukan lantas mencari-cari supaya ada perang! Tetapi melakukan jihad yang lebih berat, yaitu melawan Hawa Nafsu dan Syahwat.

Dan Allah menjanjikan bagi mereka yang mampu melawan Hawa Nafsu dan Syahwatnya ini dengan menguatkan iman dan surga sebagai tempat tinggalnya.

Semoga kita termasuk kedalam golongan orang yang dikuatkan Allah untuk melawan dominasi syahwat dan hawa nafsu yang ada dalam diri kita.



Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


--------------------------------------
NAFSU MUTHMAINNAH
--------------------------------------

Seorang yang hatinya telah didominasi oleh Nafsu Muthmainnah, bukan lagi oleh syahwat atau hawa nafsu, maka Nafsu Muthmainnah menjadi Imam bagi seluruh tubuh dan dirinya.

Dan seperti dikatakan dalam penjelasan sebelumnya, sesungguhnya Nafsu Muthmainnah inilah yang disebut Jati Diri manusia itu. Hakikat dari manusia itu.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (An-Nafs) mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu". Mereka menjawab:"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. 7:172)

Siapakah yang berjanji dalam ayat diatas ? Apakah kita pernah merasa berjanji?

Yang berjanji seperti disebutkan di ayat diatas, bukanlah ruh. Tetapi Jiwa yang tunggal, Nafsu Muthmainnah.

Namun kemana Nafsu Muthmainnah kita sekarang?

Sejak kita dilahirkan ke bumi, berapa puluh tahun yang lalu, sudah berapa banyak kita membiarkan hati kita di dominasi Syahwat dan Hawa Nafsu?

Pada dasarnya, Jiwa (Nafsu Muthmainnah) kita ini seperti juga jasad. Jasad membutuhkan makan, demikian pula dengan Jiwa.

Jasad membutuhkan makanan berupa : karbohidrat, vitamin, mineral, protein,
dsb. Jiwa juga membutuhkan makanan, seperti : shalat, dzikir, puasa, dsb.

Dalam sehari orang pada umumnya jasadnya membutuhkan makan 3 kali, dengan kadar karbohidrat, vitamin, mineral, protein tertentu. Apabila ini tidak terpenuhi maka akan sakit, bahkan mati.

Demikian pula jiwa.
Dalam sehari Allah telah menetukan makanan minimalnya :

==========================================
MAKANAN JUMLAH KADAR (misal)
==========================================

Subuh 2 Rakaat 200

Dzuhur 4 Rakaat 400

Ashar 4 Rakaat 400

Maghrib 3 Rakaat 300

Isya 4 Rakaat 400
------------------------------------------------------------------------------------
Total 17 Rakaat 1700
==========================================

Dalam sehari Allah mempersyaratkan minimal 1700 nilai (misal untuk memudahkan deskripsi) bagi jiwa kita.

Namun ketika subuh kita sholat sambil mengantuk, mungkin nilainya hanya 50.
Dzuhur selagi masih banyak perkerjaan, nilainya mungkin 20. Ashar Sudah hampir pulang bekerja, nilainya mungkin 40. Maghrib sudah sampai rumah tapi masih capek, mungkin nilainya 60. Isya bisa konsentrasi dengan baik mungkin nilainya 400.

Namun dalm sehari itu total yang dikonsumsikan oleh Jiwa hanya 570. Jauh dari nilai minimal 1700. Dan selama puluhan tahun hidup tahun ini, sepanjang hari kita kurang dalam memberikan konsumsi pada Jiwa.

Apa yang terjadi? Jiwa kita sakit. Nafsu muthmainnah sakit. Mungkin sekarang ia lumpuh, buta, tuli, dan bisu, atau mungkin mati !

Itulah yang dikatakan Allah :

Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), (QS. 2:18)

maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. 22:46)

Hati adalah tempat dari Nafsu Muthmainnah. Ketika Nafsu Muthmainnah yang dominan terhadap hati, maka hati itu adalah si Nafsu Muthmainnah.

Kita tidak menyadari, bahwa dengan perjalanan hidup kita selama sekian puluh tahun, dengan memberikan konsumsi makanan yang kurang terhadap Jiwa kita dan membiarkan terdominasi oleh Hawa Nafsu dan Syahwat, Jiwa (hati) kita menjadi lumpuh, buta, tuli, bisu, bahkan mungkin mati.

Jiwa (hati) kita menjadi sakit. Sehingga lupa terhadap perjanjian yang pernah diucapkan pada Allah seperti dalam QS 7:172.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2010 LA TAHZAN

Template N2y Shadow By Nano Yulianto