HATI DI TIGA PERSIMPANGAN
------------------------------------------------
Sesungguhnya Hati yang merupakan Raja ini, berada pada 3 persimpangan. seperti gambar dibawah ini :
Ruhul Qudus
/
/
Nafsu Muthmainnah
/
/
Syahwat ---- HATI
\
\
Hawa Nafsu
Hati berada dalam pengaruh Jasad (Syahwat), Hawa Nafsu, dan Nafsu Muthmainnah.
Seorang
manusia, yang membiarkan hatinya berada dalam dominasi Syahwat dan Hawa
Nafsunya, maka akan menjadi orang yang tersesat. Yang lambat laun bisa
tergelincir menjadi orang yang dimurkai Allah.
"Maka pernahkah
kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan
Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya.
Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran (QS.
45:23)"
Hawa Nafsu itu melingkupi segala aspek. Tidak diperbolehkan kita mengikuti hawa nafsu, dalam BERAGAMA sekalipun.
Banyak
para aktivis dakwah, demikian bersemangatnya dalam berdakwah kadang
kala terlena, tidak menyadari kalau dalam mengatur strategi dakwah,
telah ditunggangi oleh Hawa Nafsunya.
Banyak pula para
alim-ulama, yang demikian bangga terhadap ilmu yang dipelajarinya,
sehingga merasa pendapatnya adalah pendapat yang paling benar, dan
selainnya (selain golongannya) adalah pendapat yang salah.
Tidak disadari bahwa Hawa Nafsu telah merasuk dalam kemurnian beragamanya.
Dan kalaulah kita dapat keluar dari dominasi Hawa Nafsu dan Syahwat ini, maka Allah menjanjikan :
Dan
sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka : "Bunuhlah dirimu
atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan
melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau
mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah
yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman
mereka).
(QS. 4:66)
Apakah dalam ayat diatas, maksud bunuh
diri adalah mengambil pisau lalu menghujamkannya ke perut? Atau
mengambil racun lalu meminumnya?
Bukan !
Inilah kesalahan yang dapat terjadi bila kita tidak mengetahui arti yang sesungguhnya dari kata An-Nafs tersebut.
Dalam ayat ini dalam Arabnya dipergunkan kata Anfus (Jamak dari An-Nafs).
Bila
Al Qur'an menggunakan An-Nafs dalam bentuk jamak, ini sesungguhnya
merefer kepada Jiwa-jiwa yang banyak. Yaitu Hawa Nafsu. Karena bentuk
Hawa Nafsu itu banyak. Seperti marah, sombong, ria, ujub, ingin
dihormati, dsb.
Namun bila An-Nafs ini dalam bentuk tunggal, maka
sesungguhnya ia merefer kepada Jiwa yang tunggal yaitu Nafsu
Muthmainnah. Karena memang Nafsu Muthmainnah ini tunggal. Dan ini
merupakan Hakikat diri manusia.
Jadi, bunuhlah dirimu dalam ayat ini, sesungguhnya mempunyai maksud : Keluar dari Dominasi Hawa Nafsu.
Keluar
dari kampungmu dalam ayat ini, sesungguhnya mempunyai maksud : keluar
dari kampung si Jiwa, yaitu Jasad. Atau keluar dari dominasi Syahwat.
Sehingga, bila seorang dapat keluar dari dominasi Hawa Nafsu dan Syahwatnya, sesungguhnya Allah akan menguatkan iman mereka.
Namun... Sangat sedikit sekali yang mau melaksanakan ini.
Hawa Nafsu dan Syahwat ini bukan dibunuh dan dihilangkan. Tetapi dikontrol oleh Nafsu Muthmainnah.
Ada saatnya hawa nafsu dan syahwat dikeluarkan, dan saat lain kembali dikekang.
"Dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
diri dari keinginan hawa nafsunya. (QS. 79:40) maka sesungguhnya
surgalah tempat tinggal(nya). (QS. 79:41)"
Kesalahpahaman
pengartian An-Nafs juga berimplikasi kepada penafsiran yang kadang kala
kurang tepat pada ayat-ayat seperti dibawah :
"... Allah
melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas
orang-orang yang duduk satu derajat. ... (QS. 4:95)"
Banyak orang
sering langsung mengarah kepada ayat-ayat sejenis diatas, berjihad
dengan harta dan Jiwa (An-Nafs) adalah merupakan perang fisik.
Apakah memang demikian? Apakah Islam harus selalu perang sementara Islam adalah sebuah agama yang damai?
Memang betul, dalam kondisi yang mewajibkan kita berperang ayat ini merupakan perintah pula untuk berperang.
Namun dalam kondisi damai ada yang lebih berat dibandingkan dengan perang fisik, yaitu berjihad melawan syahwat dan hawa nafsu.
Setelah melakukan perang dan akan memasuki bulan Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat :
"Kita kembali dari jihad kecil kepada perjuangan besar".
(Hadits riwayat Al Baihaqy dan Jabir,).
Terlepas
dari ke-dhoifan hadits diatas logikanya seperti ini : Seorang manusia
yang telah dapat melepaskan hatinya dari takut kehilangan harta,
keluarga, jabatan, dsb, hanya seorang yang telah mampu melawan syahwat
dan hawa nafsunya.
Kalaulah kita temukan orang yang seperti ini,
niscaya dia tidak takut lagi mati. Niscaya dia tidak akan pernah
mengelak dari perintah untuk berperang, bila kondisinya mewajibkannya
untuk berperang.
Tetapi orang yang hatinya masih takut kehilangan
harta, pekerjaan, keluarga, jabatan, dsb. ia akan takut mati.
Peperangan adalah sebuah hal yang sangat berat baginya.
Artinya,
dalam logika sederhana tersebut, akan tergambar, kalaupun hadits tsb
dhoif dari sanadnya, namun secara ilmiah hal itu dapat dibenarkan dan
secara mathan, tidak ada ayat Al Qur'an yang bertentangan dengannya.
Dalam
bahasan saya diatas, saya juga mencoba menunjukkan, bahwa tasawuf yang
bagi sebagian orang diidentikkan sebagai pola pendekatan Islam yang
mengabaikan perintah untuk berperang adalah kurang tepat.
Berperang
adalah suatu kewajiban apabila kondisinya mewajibkan untuk
melakukannya. Namun bila masa damai bukan lantas mencari-cari supaya ada
perang! Tetapi melakukan jihad yang lebih berat, yaitu melawan Hawa
Nafsu dan Syahwat.
Dan Allah menjanjikan bagi mereka yang mampu
melawan Hawa Nafsu dan Syahwatnya ini dengan menguatkan iman dan surga
sebagai tempat tinggalnya.
Semoga kita termasuk kedalam golongan
orang yang dikuatkan Allah untuk melawan dominasi syahwat dan hawa nafsu
yang ada dalam diri kita.
--------------------------------------
NAFSU MUTHMAINNAH
--------------------------------------
Seorang
yang hatinya telah didominasi oleh Nafsu Muthmainnah, bukan lagi oleh
syahwat atau hawa nafsu, maka Nafsu Muthmainnah menjadi Imam bagi
seluruh tubuh dan dirinya.
Dan seperti dikatakan dalam penjelasan
sebelumnya, sesungguhnya Nafsu Muthmainnah inilah yang disebut Jati
Diri manusia itu. Hakikat dari manusia itu.
Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (An-Nafs) mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu". Mereka menjawab:"Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan:"Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS.
7:172)
Siapakah yang berjanji dalam ayat diatas ? Apakah kita pernah merasa berjanji?
Yang berjanji seperti disebutkan di ayat diatas, bukanlah ruh. Tetapi Jiwa yang tunggal, Nafsu Muthmainnah.
Namun kemana Nafsu Muthmainnah kita sekarang?
Sejak
kita dilahirkan ke bumi, berapa puluh tahun yang lalu, sudah berapa
banyak kita membiarkan hati kita di dominasi Syahwat dan Hawa Nafsu?
Pada dasarnya, Jiwa (Nafsu Muthmainnah) kita ini seperti juga jasad. Jasad membutuhkan makan, demikian pula dengan Jiwa.
Jasad membutuhkan makanan berupa : karbohidrat, vitamin, mineral, protein,
dsb. Jiwa juga membutuhkan makanan, seperti : shalat, dzikir, puasa, dsb.
Dalam
sehari orang pada umumnya jasadnya membutuhkan makan 3 kali, dengan
kadar karbohidrat, vitamin, mineral, protein tertentu. Apabila ini tidak
terpenuhi maka akan sakit, bahkan mati.
Demikian pula jiwa.
Dalam sehari Allah telah menetukan makanan minimalnya :
==========================================
MAKANAN JUMLAH KADAR (misal)
==========================================
Subuh 2 Rakaat 200
Dzuhur 4 Rakaat 400
Ashar 4 Rakaat 400
Maghrib 3 Rakaat 300
Isya 4 Rakaat 400
------------------------------------------------------------------------------------
Total 17 Rakaat 1700
==========================================
Dalam sehari Allah mempersyaratkan minimal 1700 nilai (misal untuk memudahkan deskripsi) bagi jiwa kita.
Namun ketika subuh kita sholat sambil mengantuk, mungkin nilainya hanya 50.
Dzuhur
selagi masih banyak perkerjaan, nilainya mungkin 20. Ashar Sudah hampir
pulang bekerja, nilainya mungkin 40. Maghrib sudah sampai rumah tapi
masih capek, mungkin nilainya 60. Isya bisa konsentrasi dengan baik
mungkin nilainya 400.
Namun dalm sehari itu total yang
dikonsumsikan oleh Jiwa hanya 570. Jauh dari nilai minimal 1700. Dan
selama puluhan tahun hidup tahun ini, sepanjang hari kita kurang dalam
memberikan konsumsi pada Jiwa.
Apa yang terjadi? Jiwa kita sakit.
Nafsu muthmainnah sakit. Mungkin sekarang ia lumpuh, buta, tuli, dan
bisu, atau mungkin mati !
Itulah yang dikatakan Allah :
Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), (QS. 2:18)
maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang
buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. 22:46)
Hati
adalah tempat dari Nafsu Muthmainnah. Ketika Nafsu Muthmainnah yang
dominan terhadap hati, maka hati itu adalah si Nafsu Muthmainnah.
Kita
tidak menyadari, bahwa dengan perjalanan hidup kita selama sekian puluh
tahun, dengan memberikan konsumsi makanan yang kurang terhadap Jiwa
kita dan membiarkan terdominasi oleh Hawa Nafsu dan Syahwat, Jiwa (hati)
kita menjadi lumpuh, buta, tuli, bisu, bahkan mungkin mati.
Jiwa (hati) kita menjadi sakit. Sehingga lupa terhadap perjanjian yang pernah diucapkan pada Allah seperti dalam QS 7:172.
0 komentar:
Posting Komentar