Khitbah (Lamaran) dalam Islam
Kita sudah membahas pembahasan
seputar pernikahan, dari mulai pertama kali kita membahas definisi
pernikahan itu sendiri. Lalu kedua kita juga sudah membahas hukum
pernikahan dan alasan disyariatkan nikah. Lalu yang ketiga adalah hukum
menikah dan cara memilih pasangan (istri). Kita akan lanjutkan dengan
pembahasan berikutnya. Semoga dengan kita membahas fiqih manajemen
keluarga ini, kita kelak menjadi bukti ayat mengenai bersatunya kembali
orang-orang yang di dunia saling berkasih sayang, kelak di akhirat
dengan landasan ketaqwaan. Jadi kalau kita mau utuh keluarga kita kelak
di akhirat, maka bangunlah keluarga di atas landasan ketaqwaan.
Inilah yang Allah firmankan kepada kita, “Masuklah kamu ke dalam surga,
kamu dan istri-istri kamu digembirakan.” (QS. Az Zukhruf [43]:70). Dalam
rangka itu, kita mempelajari teori-teori fiqih manajemen keluarga ini,
agar kita dikumpulkan kembali bersama keluarga kita kelak di surga.
Hukum Khitbah dan Adab-adabnya
Khitbah adalah menjelaskan keinginan untuk menikahi seorang wanita yang disukainya dan memberitahu walinya.
Jadi tidak ada hubungannya dengan cincin, membawa buah-buahan, roti
buaya dan lain sebagainya dalam khitbah. Ini adalah tradisi orang lain,
yang tidak berasal dari Islam. Permasalahan pihak lelaki datang sendiri
atau dengan orang tua, ini hanya permasalahan teknis saja. Tradisi kita
ini sebenarnya menyulitkan hidup kita saja, padahal Islam memberikan
pilihan yang sederhana, mudah dan aplikatif.
Rasulullah SAW
bersabda, “Jika kamu melihat seorang wanita yang kamu sukai, datangilah
keluarganya.” Nah, inilah khitbah. Yang namanya khitbah harus siap
diterima dan harus juga siap untuk ditolak. Kalau diterima,
alhamdulillah. Kalau ditolak, bunga tidak hanya sekuntum. Sederhana
saja.
Di antara hukum khitbah dan adabnya:
1. Diharamkan seorang Muslim mengkhitbah saudaranya sesama Muslim
Jadi kalau seorang wanita sudah dikhitbah oleh saudara kita yang lain,
maka haram bagi setiap Muslim untuk mengkhitbah wanita tersebut. Yaitu
ketika si wanita sudah menjawab permintaan si lelaki, walaupun dalam
bentuk isyarat dan lain sebagainya, sebagaimana Rasulullah SAW sabdakan
bahwa diamnya seorang perawan tandanya mau.
Jika pemuda yang
mengkhitbah belakangan sudah tahu bahwa si wanita sudah di khitbah lebih
dahulu dan menerima khitbah tersebut, maka haram baginya untuk
mengkhitbah wanita tersebut. Jika si pemuda ini tidak tahu adanya proses
khitbah sebelum dirinya, maka tidak menjadi dosa bagi dirinya. Si
wanita atau walinya wajib memberitahukan bahwa sudah ada yang
mengkhitbah terlebih dahulu yang sudah dijawab.
Rasulullah SAW
bersabda, “Tidak boleh seorang lelaki Muslim mengkhitbah atas khitbah
saudaranya, sampai ia menikahinya atau ia tinggalkan (tidak jadi
menikah).” (HR. Bukhari).
Kalau sudah ada kejelasan tidak jadi,
maka wanita tersebut kembali diperbolehkan untuk dikhitbah. Kalau wanita
tersebut sudah jelas akan menikah, tidak ada lagi alasan untuk
mengkhitbah. Jangan juga menunggu sampai bercerai, ini berbahaya juga.
Hikmah dari larangan ini adalah karena perbuatan demikian akan
melakukan kerusakan, mendatangkan permusuhan, antara kedua pihak yang
mengkhitbah. Memang hidup ini unik. Padahal sederhana saja, ketika
seorang wanita sudah dikhitbah, tinggal kita mencari wanita yang lain
untuk kita nikahi. Tapi kebanyakan orang tidak mau seperti itu.
2. Diharamkan mengkhitbah secara terang-terangan wanita yang sedang
berada dalam keadaan iddah, dimana tholaqnya sudah tidak dapat dirujuk
lagi.
Tholaq yang sudah tidak dapat dirujuk lagi, bisa jadi
karena sudah jatuh tiga kali tholaq, ataupun karena khulu’ yaitu wanita
menuntut cerai.
Firman Allah Ta’ala, “Dan tidak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu, ..” (QS. Al Baqarah
[2]:235).
Ayat ini turun sehubungan dengan wanita yang berada
dalam masa iddah. Jadi yang tidak diperbolehkan adalah mengkhitbah
secara terang-terangan, namun jika menggunakan bahasa sindiran maka itu
diperbolehkan.
Diperbolehkan ia mengusulkannya seperti
mengatakan, “Saya ingin sekali agar Allah mudahkan bagiku untuk menikahi
wanita yang sholihah.” Atau sekedar mengatakan, “Sebenarnya saya ingin
menikah.”
Perkataan ini diucapkan seakan tidak mengena, padahal
ditujukan kepada si wanita yang sedang iddah itu. Menghilangkan perasaan
yang tidak enak di dalam diri, menunjukkan bahwa tidak bolehnya di
tasrih.
Terkadang, kecenderungan untuk menikah sudah kuat sekali
untuk mengabarkan habisnya masa iddah padahal masa iddah belum lagi
habis.
Maka itu kita harus mengetahui betul masa iddah dari si
wanita itu. Jika masa iddah-nya belum habis, maka jangan tasrih. Atau
tunggu masa iddahnya selesai.
Tetapi wanita yang masa iddahnya masih bisa rujuk kembali, haram untuk dikhitbah.
Kenapa? Karena ia masih dalam masa rujuk. Statusnya masih terhadap suaminya yang saat itu. Jadi yang diperbolehkan untuk dikhitbah tanpa tasrih hanya wanita yang sedang dalam masa iddah yang tholaq-nya tidak bisa dirujuk kembali. Tapi kalau masa iddah sudah selesai, maka boleh langsung dilamar.
Kenapa? Karena ia masih dalam masa rujuk. Statusnya masih terhadap suaminya yang saat itu. Jadi yang diperbolehkan untuk dikhitbah tanpa tasrih hanya wanita yang sedang dalam masa iddah yang tholaq-nya tidak bisa dirujuk kembali. Tapi kalau masa iddah sudah selesai, maka boleh langsung dilamar.
3. Kalau sudah diisyaratkan dari pihak yang
melamar atau yang dilamar, kedua belah pihak harus menjelaskan
masing-masing kelebihan dan kekurangannya. Hal ini tidak termasuk
ghibah, karena ia termasuk ke dalam memberi nasihat yang dianjurkan
dalam Islam.
Jadi dulu Rasulullah SAW ketika mengkhitbah wanita,
beliau tugaskan seorang shohabiyah atau istrinya untuk melihat terlebih
dahulu dan menyelidiki wanita tersebut. Tapi jangan kita lalu samakan
diri kita kepada Rasulullah SAW yang tidak memiliki cacat. Adapun kita
sebagai laki-laki tetap juga harus menjelaskan kebaikan dan kekurangan
kita. Hal ini harus dijelaskan, baik oleh utusannya maupun oleh diri
kita sendiri. Jangan sampai kita simpan-simpan. Karena banyak juga fakta
dimana setelah menikah terjadi penyesalan.
4. Khitbah itu hanya
merupakan janji pernikahan yang menjelaskan keinginan untuk menikah,
belum terjadi pernikahan. Oleh karena itu, hukum yang berlaku antara
yang melamar dan yang dilamar tidak berubah.
Jadi walaupun sudah
bertunangan, belum terjadi pernikahan karena itu belum berubah hukumnya.
Si pria dan wanita belum menjadi pasangan suami istri, sehingga
keduanya masih haram. Hukum ini hanya akan berubah ketika kelak terjadi
akad nikah.
Jadi jangan sampai sebelum menikah, walaupun sudah
tunangan, jalan berduaan sambil bergandengan tangan. Ini tetap haram.
Jangan kita mengikuti tradisi barat yang tidak mengenal Islam. Ini
adalah salah satu penyakit sosial masyarakat kita.
Bagi kita yang
dulu sudah telanjur melakukan kesalahan, banyaklah istighfar. Yang
terpenting adalah bagaimana anak kita ke depan tidak mengulangi
kesalahan yang sama dengan yang pernah kita lakukan.
5. Hukum melihat kepada calon wanita yang akan dikhitbah
Barangsiapa yang ingin mengkhitbah seorang wanita, disyari’atkan dan
disunnahkan untuk melihatnya sebatas yang pantas dan dapat dilihat
seperti wajah, telapak tangan dan kaki.
Perhatikan bahwa hal ini
disyari’atkan. Kenapa? Karena dari wajah kita bisa melihat ketaqwaan,
dari telapak tangan kita bisa melihat bagaimana si wanita merawat
dirinya, juga dari kakinya. Kalau si wanita perhatian untuk membersihkan
tangan dan kakinya, berarti ia perhatian untuk membersihkan yang
lain-lain.
Ada hadits dari Sahal bin Sa’ad ra, seorang wanita
pernah datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Ya Rasulullah, saya datang
untuk memberikan diriku kepadamu.” Lalu Rasulullah melihatnya, menatap
mukanya, setelah itu Rasulullah mengangguk-angguk. (Muttafaqun ‘alaih).
Lalu hadits dari Abu Hurairoh ra, ketika ia sedang berada di sisi
Rasulullah SAW, beliau didatangi oleh seorang laki-laki yang mengatakan
kepada Rasulullah bahwa ia hendak menikahi seorang wanita Anshor.
Rasulullah SAW bekata kepadanya, “Apakah anda sudah melihatnya?” Ia
menjawab, “Belum.” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Pergilah dan lihat
dirinya, karena di mata seorang Anshor ada sesuatu.” (HR. Muslim).
Seperti yang saya katakan tadi, bahwa kita bisa melihat sesuatu dari
mata seseorang. Apakah ia wanita yang taat, atau materialistik dan
sebagainya.
Hadits dari Jabir ra, berkata Rasulullah SAW,
“Barangsiapa di antara kalian yang hendak mengkhitbah seorang wanita,
jika ia mampu melihat apa yang boleh dilihat, maka hendaklah ia
lakukan.” Jabir mengatakan bahwa setelah ia mendengar hadits Rasulullah
ini maka ia merasa mendapatkan dorongan lalu ia berusaha melihat seorang
wanita yang ia inginkan, sampai ia melihat faktor-faktor yang
membuatnya ingin menikahi wanita tersebut, lalu dinikahi wanita
tersebut.” (HR. Abu Daud, Ahmad, dan Al Hakim).
Jadi boleh kita
melihat calon wanita yang hendak kita khitbah, jika kita mampu.
Hikmahnya adalah dengan melihat itu dapat lebih bisa menarik perhatian
ke dalam dirinya.
Tanpa dilihat terlebih dahulu, bagaimana bisa kita membuat diri kita tertarik? Seperti membeli kucing di dalam karung.
Oleh karena itu lebih kuat dorongan kepada kasih sayang dan mencintai
yang terus menerus di antara kedua belah pihak, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW kepada Mughiroh ketika ia telah menerima seorang wanita,
“Coba kamu lihat, karena itu lebih pantas untuk kalian lakukan.” (HR.
Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Shohih Al Albani).
Kelak diantara
keduanya terjadi kasih sayang dan kesepakatan-kesepakatan. Seperti
inilah, jama’ah sekalian rahimakhumullah, adab-adab mengkhitbah itu
dalam Islam sangat-sangat longgar, namun khitbah belum merubah status
hukum pasangan yang hendak menikah itu. Jadi tidak diperbolehkan keluar
dari adab-adab Islam. Hanya diperbolehkan melihat wajah, telapak tangan
dan kaki. Selebihnya dari itu diharamkan. Jika kita ingin melihat
seluruhnya, maka nikahi dulu wanitanya itu.
Wallahu ta’ala a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar